Dialog Interaktif: Memupuk Solidaritas Dalam Satu Perspektif Demi Tercapainya Inklusifitas (2)

Setelah menikmati hidangan nasi dengan berbagai lauk yang lezat, acara kembali dilanjutkan dengan kesempatan pertama diberikan kepada kak Hamzah.

Menurutnya, fasilitas seperti apa lagi yang menjadi tuntutan bagi pelajar di era modern ini? Jika kita ingin meninjau tantangan pada zaman yang belum ada android, Google, bahkan belum ada teknologi yang bisa menerjemahkan buku fisik ke dalam buku elektronik, namun mengapa mereka yang menempuh pendidikan saat itu masih dapat memperoleh prestasi yang memuaskan? Semestinya yang dapat dimaksimalkan saat ini adalah peningkatan kualitas kemampuan IT kita sebagai pemanfaatan kecanggihan fasilitas sehingga mampulah kita dalam menyamai bahkan melampaui perjuangan para pendahulu..

Ia melanjutkan, bahwa yang tidak kalah penting untuk ditingkatkan ialah usaha dan komitmen. Janganlah menjadi objek dari teknologi, melainkan jadilah subjek dari teknologi itu.

Kak Syarif kemudian melanjutkan pembahasan dengan memberikan gambaran mengenai perbedaan pendekatan pada regulasi disabilitas yang lama dengan yang baru. Menurutnya, awalnya disabilitas diasumsikan sebagai objek amal. Yang mana mereka harus disantuni dan diberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, berawal dari terselenggaranya CRPD sebagai konsensus secara Internasional mengenai persamaan hak bagi penyandang disabilitas, maka sudah sepatutnya masing-masing dari kita untuk memperjuangkan hal itu. Tak terkecuali fasilitas umum di sekolah seperti lab komputer, idealnya setiap siswa termasuk disabilitas mempunyai hak yang sama untuk menggunakannya. Atas dasar persamaan hak tersebut, maka suara memperjuangkan aksesibilitas mesti digencarkan.

Selanjutnya kesempatan diberikan kepada kak Mustafa. Ia berpendapat bahwa mengenai masalah perlakuan, ini disebabkan karena pihak sekolah belum memahami apa yang kita butuhkan. Inilah sebenarnya yang menjadi tugas kita, bagaimana membuat mereka mengerti apa yang kita butuhkan dan sejauh mana kemampuan kita.

Menanggapi komentar dari Firdaus sebelumnya, Iman berpendapat bahwa pentingnya evaluasi diri untuk menemukan kekeliruan dari usaha yang telah kita lakukan. Mengapa hasil yang diraih tidak maksimal sementara usaha yang kita lakukan sudah begitu gencar? Perlu dipertanyakan lagi bahwa apakah benar kita sudah berusaha semaksimal mungkin? Dan usaha seperti apa yang telah kita lakukan itu serta sesuaikah usaha tersebut dengan harapan yang kita nantikan?

Kemudian mengomentari tanggapan dari Iman, kak Riska turut bersuara mengenai fenomena yang terjadi di dalam pendidikan baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Sekiranya memang ada kalanya seorang siswa ataupun mahasiswa tunanetra yang giat belajar, namun ketika perolehan nilai hanya mendapatkan hasil yang biasa saja. Menurutnya hal ini adalah gejala yang konkrit dan sering dialami oleh teman tunanetra maupun teman awas.

Sebelumnya kak Lutfi sempat bercerita bersama dengan Aulya, seorang mitra yang bertugas menjadi notulen dalam acara itu dan saat ini menempuh pendidikan SMP di salah satu sekolah di Makassar. Menurut pengalaman Aulya, hal yang disampaikan oleh Firdaus dan Kak Riska juga dialaminya. Ia merasa telah belajar dengan tekun. Namun kenyataan pada nilai rapor hanya bertuliskan angka yang sesuai dengan nilai KBM.

Berpindah ke persoalan selanjutnya namun masih dalam ranah pendidikan, Ilham menggambarkan pengalamannya dalam menempuh pendidikan di sekolah reguler. Sebelumnya ia menceritakan mengenai salah satu mata pelajarannya yang mendapatkan nilai yang tinggi, namun menurutnya usaha dan kemampuannya tidak maksimal dalam mengikuti mata pelajaran itu. Ia menanyakan apakah hal semacam ini dapat dikatakan perlakuan spesial karena kedisabilitasannya?

Kemudian ia menambahkan. Apakah kita masih perlu pendamping dalam melaksanakan ujian berbasis komputer? Pasalnya walaupun komputer telah dilengkapi dengan pembaca layar, namun terkadang masih terdapat soal yang menampilkan gambar yang mana pembaca layar tidak dapat mengakses isi gambar tersebut.

Pertanyaan Ilham kemudian ditanggapi oleh kak Mustafa. Bahwa semua kesulitan yang dihadapi di sekolah sebenarnya menjadi tuntutan bagi kita untuk bisa mengatasinya. Pendekatan kepada teman, guru maupun dosen sangat membantu dalam pencapaian prestasi belajar. Teman dapat membantu kita dalam menjelaskan pelajaran yang tidak dimengerti saat di luar kelas, sementara guru atau dosen semestinya mampu memberikan dan memenuhi kebutuhan kita dalam proses pembelajaran di kelas.

Sebagai solusi dari kesulitan yang dialami oleh teman-teman di sekolah maupun perkuliahan, maka kami sepakat untuk menggagas suatu forum yang nantinya akan menghadirkan para senior dengan segudang pengalamannya. Hal ini menurut kami sangatlah penting untuk meningkatkan dan menyegarkan motivasi teman-teman dalam menghadapi tantangan di sekolah dan perkuliahan.

Di akhir segmen, kak Lutfi menyampaikan bahwa sebagai tunanetra, adalah tuntutan kita untuk belajar lebih keras dua kali dari teman yang awas. Justru disitulah tantangan bagi disabilitas sendiri untuk menunjukkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai seorang pelajar dan mahasiswa.

Sesi Ketiga: Persatuan

Sebagai pengantar untuk sesi ketiga ini, kak Lutfi memberikan gambaran mengenai pentingnya persatuan untuk mencapai tujuan. Bukan hanya di kalangan tunanetra, namun perbedaan dapat ditemukan dalam kapasitas bangsa Indonesia yang mempunyai keragaman suku dan budaya.

Suara pertama bersumber dari kak Riska. Menurutnya, hal yang perlu dihilangkan dalam membentuk persatuan untuk mewujudkan cita-cita yang inklusif adalah ego. Dalam menggagas suatu ide pasti ada perbedaan karena berbeda latar belakang dan pola pikir. Jadi sebenarnya perbedaan itu ialah hal yang wajar, namun yang mesti diperhatikan adalah hilangkan rasa ego yang mengedepankan keinginan subjektif.

Turut menambahkan, kak Mustafa menerangkan bahwa di setiap perkumpulan, terkadang ada pihak-pihak yang bermotivasi untuk meruntuhkan persatuan. Entah itu dengan cara mengadu domba, propaganda dan sebagainya. Hal seperti ini mesti diwaspadai dan menjadi tuntutan kita bersama untuk tidak mudah terpengaruh terhadap hal semacam itu.

Sementara menurut kak Syarif, dengan adanya kegiatan dialog seperti ini sudah mencerminkan keinginan kita untuk bersatu dalam pergerakan. Nyatanya yang ada dalam ruangan saat ini adalah kita yang berasal dari berbagai organisasi yang berbeda. Dan walaupun kita berbeda dalam pemikiran namun tetap tuntutan kita adalah saling bahu membahu dalam mewujudkan inklusifitas.

Kesempatan kemudian diberikan kepada Iman. Menurutnya, berbagi pengalaman entah itu dari yang tua dan muda sangat penting untuk membekali diri sendiri dengan berbagai macam gagasan. Dengan adanya dialog seperti ini, maka rasa persaudaraan akan muncul dengan sendirinya yang nantinya akan melahirkan persatuan.

Saya pribadi pun sempat menanggapi sedikit mengenai persatuan. Bahwa akan lebih mudah menggalang rasa itu ketika kita sering bersilaturahmi. Maka yang menurut saya yang mesti menjadi gebrakan adalah sebuah acara atau kegiatan yang melibatkan kita dari berbagai organisasi penyandang disabilitas yang dapat dijadikan sebagai ajang penyatuan gagasan.

Tak ketinggalan Yoga Indardewa sebagai inisiator dari kegiatan kali ini mengajak semua partisipan untuk saling berdialog, bahu membahu, dan memupuk solidaritas demi kemajuan dan pencapaian satu tujuan bersama, tidak lain dan tidak bukan ialah inklusifitas.

Sebagai kesimpulan dari sesi ketiga, untuk lebih mempererat persatuan di kalangan tunanetra diperlukan adanya event yang menghadirkan berbagai organisasi penyandang disabilitas sebagai ajang silaturahmi dan saling bertukar pikiran dalam upaya mewujudkan aksi demi tercapainya aksesibilitas.

=======================

Tak terasa suasana di depan kompleks Yapti kian hening. Udara pun mulai dingin saat kak Lutfi menyampaikan pesan dan kesannya untuk kami generasi baru dalam dunia perjuangan.

Menurutnya, apa yang telah diraih oleh para senior adalah berkat usaha yang keras dan semangat yang kuat. Jadi ingatlah untuk menjadi sesuatu yang mempunyai nilai di tengah masyarakat, perlu melalui proses dan lika-liku yang panjang.

Di penghujung acara, kak Lutfi pun memberikan pesan agar generasi selanjutnya bisa mencapai sesuatu yang lebih dari apa yang dicapai oleh pendahulunya. Karena setiap generasi mempunyai tantangann dan keunikannya masing-masing.

Post a Comment for "Dialog Interaktif: Memupuk Solidaritas Dalam Satu Perspektif Demi Tercapainya Inklusifitas (2)"