Menyamakan Persepsi Mengenai Disabilitas Menurut Regulasi
Seperti biasa di ruang tamu yang setia menjadi saksi bisu kemesraanku dengan Lenovo Netbook saya menghabiskan waktu untuk sekilas memperbaharui referensi pengetahuan yang mungkin nanti bisa saya manfaatkan untuk kemaslahatan bangsa. Namun, agaknya saya tergelitik tatkala menyempatkan diri membuka salinan regulasi pada laman Pemprov Sulsel.
Saya berusaha secermat mungkin dalam menyimak setiap redaksi yang disampaikanoleh vocalizer e-speak alias pembaca layar yang setia menjadi mitra selama beberapa tahun belakangan. Melewati banyaknya acuan dari Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 5 Tahun 2016 Tentang Disabilitas yang salah satunya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, tibalah saya pada poin ke 7 Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 5 Tahun 2016 Tentang Disabilitas yang berbunyi sebagai berikut:
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara selayaknya, yang terdiri atas penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental
Kalau kita cermati asumsi mengenai penyandang disabilitas yang dituangkan ke dalam redaksi tersebut di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa paradikmanya, penyandang disabilitas hanyalah mereka yang mempunyai keterbatasan dalam kondisi fisik dan atau mentalnya. Adapun kewajiban Pemerintah Daerah dalam perlindungan dan pelayanan disabilitas menurut Pasal 4 Ayat 1, meliputi:
- melaksanakan kebijakan pemerintahan terkait pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
- memperhatikan serta mempertimbangkan urgensi pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas dalam menyusun setiap kebijakan dan/atau rencana kerja.
- menetapkan dan melaksanakan kebijakan, program dan/atau kegiatan pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
- memberikan dukungan serta fasilitasi sarana dan prasarana pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
- memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mengembangkan kemampuan dan bakatnya dalam mencapai kemandirian dalam kehidupan dan penghidupan.
- mendorong pelaku usaha dan masyarakat untuk memberikan pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
- mengalokasikan anggaran pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara proporsional sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
- melakukan koordinasi dengan Kabupaten/Kota dalam pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
- melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
- memfasilitasi penyediaan layanan informasi dan tindak cepat untuk perempuan dan anak penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan, maupun sebagai upaya pencegahan dari kekerasan; dan.
- memfasilitasi penyiapan data tentang penyandang disabilitas yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, untuk lebih mengarahkan saudara pembaca pada poin yang ingin saya garis bawahi, mari kita simak obyek penyandang disabilitas menurut Pasal 1 poin pertama Undang-Undang No. 8 Tahun 2016:
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Nah, kita simak bahwa ada kontradiksi antara obyek penyandang disabilitas yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2016 dengan Perda Sulsel No. 5 Tahun 2016. Bahwa disabilitas bukanlah sebatas gangguan atau hambatan pada fisik dan atau mental saja, melainkan gangguan dan hambatan sensorik semestinya menjadi bagian dari persepsi mengenai disabilitas.
Belum lagi, redaksi kata cacat yang mampu membayangi latar belakang stigma negatif masyarakat mengenai disabilitas sepertinya kurang tepat digunakan. Mengingat kata cacat ialah kata yang digunakan untuk merujuk kepada barang atau benda.
Asumsi Masyarakat
Jika memahami apa yang menjadi poin di atas, maka timbullah pertanyaan saya pribadi. "Apakah disabilitas sensorik seperti yang dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas sama sekali tidak tercover dalam Perda Sulsel?". Barangkali saya tidak perlu menguraikan lebih dalam mengenai beberapa kasus yang terjadi yang menurut kami adalah akibat dari salah persepsi mengenai penyandang disabilitas.
Kemudian, saya pun mengajak saudara untuk menyimak poin ke 13 Pasal 1 Perda Sulsel Tentang Disabilitas:
Derajat kedisabilitasan adalah tingkat berat ringannya keadaan disabilitas yang disandang seseorang.
Hal inilah yang seringkali menjadi kekeliruan, bahwa disabilitas sensorik khususnya netra adalah tergolong ke dalam disabilitas berat sehingga diasumsikan tidak mampu mengerjakan aktivitas tertentu. Padahal, idealnya adalah disabilitas tidak mempunyai tingkatan hierarkis dari yang ringan hingga berat ditinjau dari jenis kedisabilitasannya, melainkan kemampuan yang dimilikinya dalam beraktivitas dan menyelesaikan sesuatu.
Coba kita ambil contoh, ada seorang disabilitas sensorik netra yang lihai mengoperasikan komputer dan mempunyai kemampuan spasial atau orientasi ruang yang memadai, bahkan sudah mampu hidup mandiri dalam aktivitasnya sehari-hari. Apakah masih dapat dikategorikan ke dalam disabilitas berat?
Tulisan ini hanyalah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai disabilitas menurut amanah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Tidak lupa saya mengajak kepada kita semua agar bersama-sama membangun lingkungan yang kondusif dan bersahabat terhadap semua lapisan masyarakat!
Post a Comment for "Menyamakan Persepsi Mengenai Disabilitas Menurut Regulasi"
Post a Comment