Sepucuk Cerita Perjuangan Dalam Keterbatasan Fasum
Ulasan: Ismail Naharuddin ( Sekretaris DPD Pertuni Sulawesi Selatan
Kemarin, tepatnya saat kumandangan azan disuarakan oleh seorang adik dari sebuah masjid yang letaknya hanya diantarai oleh 4 rumah dari kediaman saya, samar-samar deringan yang familiar terlintas di telinga. Tentu saja, saya tidak bergegas menghampiri kawan Smartphone itu. Nanti sehabis membersihkan diri dan menunaikan kewajiban syariat barulah saya keheranan tatkala memeriksa Panggilan Tak Terjawab dari rekan seperjuangan di Pertuni. Tidak biasanya dia menelepon hingga 6 kali panggilan.
Namanya Yoga. Dia pun kemudian menceritakan sebuah momen yang semestinya membawa kabar gembira bagi seorang kawan yang dianugerahi keturunan. Namun, nampaknya di balik kebahagiaan, ada pula pengalaman kurang mengenakkan bagi seorang calon ayah dan ibu. Mereka kawan senasib kami. Saya sempat bertemu tatkala menyalurkan donasi bersama kawan-kawan Pelita Netra yang diantarkan ke 15 keluarga tunanetra di Kota Makassar. Keluarga merekalah salah satu dari objek penyaluran kami kala itu.
Sejak saat itu, saya pun mendengar kabar bahwa isteri dari kawan kami yang satu ini tengah mengandung dan saat itu sudah memasuki bulan ke 8. Jadi, sudah dalam persiapa untuk melahirkan buah hati yang kelak akan menjadi mitra sekaligus generasi dari suatu pranata yang dibina mereka.
Saya tertegun sesekali. Lebih tepatnya mengingat keadaan ekonomi keluarga mereka yang terdampak oleh kondisi darurat COVID 19. Profesinya sebagai pedagang keliling, nampaknya tidak dapat membantu banyak dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari ditambah lagi dalam mempersiapkan biaya persalinan.
Yang menjadi satu kesyukuran bagi kami DPD Pertuni Sulawesi Selatan, bahwa berbagai pihak masih memberikan kepercayaan untuk bermitra dalam menyalurkan bantuan kepada kawan-kawan tunanetra di Kota Makassar dan beberapa wilayah sekitarnya. Alhamdulillaah setidaknya bagi organisasi yang dijalankan oleh pemuda baru belajar seperti saya sendiri, Yoga Indar Dewa, kakanda Nikodemus Palimbong, kakanda Rizka Rustam, kakanda Muhammad Ali, kakanda Kasmir Padallingan, sahabat Herman, para mitra bakti dan seluruh rekan kerja yang mungkin akan memenuhi halaman ini kalau saja namanya saya biarkan tertulis satu persatu, tentunya patut bersyukur mendapatkan kesempatan untuk turut membantu saudara senasib setunanetra dalam mencukupi kebutuhan keseharian selama pandemi corona.
Kepercayaan dari berbagai pihak donatur pun tidak ingin kami sia-siakan. Dengan sigap kami DPD Pertuni Sulawesi Selatan memfasilitasi penyaluran paket dan dana tunai yang diamanahkan.
Suatu hari, Yoga kembali menceritakan perihal persiapan persalinan kawan kami ini. Dan kolotnya saya yang saat itu baru mengetahui bahwasannya melahirkan seorang bayi juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Akhirnya, keadaan darurat yang dialami kawan kami menjadi topik pembicaraan di antara pengambil kebijakan DPD Pertuni Sulawesi Selatan. Saya, kakanda Niko dan kakanda Kasmir telah menyepakati untuk merekomendasikan nama kawan kami tersebut dalam daftar penerima bantuan tunai dari salah satu Komunitas Mahasiswa di Makassar. Hal ini bertujuan untuk stidaknya mengurangi sebagian beban biaya persalinan yang perlu disiapkannya.
Hingga saat saya berbincang dengan Yoga kemarin, kronologi menjelang persalinan isteri dari kawan kami diceritakannya dengan runtut.
Menurutnya, semalam sebelumnya nampaknya gejala akan keluarnya janin telah dirasakan. Kemudian dia memutuskan untuk segera membawanya ke seorang bidan. Namun, setelah diperiksa, nampaknya bidan tersebut mengaku tak mampu membantu proses persalinan dikarenakan ukuran bayi yang sangat besar.
Ditemani si bidan, mereka pun menuju ke Rumah Sakit Plamonia Makassar. Sesampai di sana, bukannya dilayani malah ditolak dengan alasan tidak ada dokter. Maka diputuskanlah tujuan kedua adalah Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu & Anak Pertiwi Makassar.
Heran! Hal yang sama juga terjadi di rumah sakit khusus persalinan ini. Tak ada dokter. Saya sendiri tidak bisa membayangkan dalam kondisi gawat darurat seperti itu harus berlarian sana kemari mencari rumah sakit yang mau menyediakan pelayanan tanggap.
Setelah mengalami hal yang sama untuk ketiga kalinya di Rumah Sakit Sitti Khadijah Makassar, akhirnya sampailah mereka di Rumah Sakit Ibu dan Anak Amanat Makassar. Barulah pelayanan akhirnya bisa didapatkan walaupun dengan perjalanan yang panjang.
Kejadian tersebut mungkin memang sudah digariskan. Rencana awal menjalani proses persalinan di sebuah puskesmas dengan tujuan agar bisa menjangkau biaya yang sesuai nampaknya mesti dibayar mahal dengan pencarian Rumah Sakit yang bersedia memberikan pelayanan.
Akhirnya isteri dari kawan kami ini selamat dan melahirkan seorang bayi dengan ukuran 4 kg. Namun, mendengar kondisi bayi tersebut kadangkala mengalami sesak nafas, saya berharap agar segala sesuatunya akan baik-baik saja.
Demikianlah sepucuk cerita dari kawan kami. Pekerja harian tunanetra yang terdampak kondisi darurat COVID 19 yang harus berjuang dalam menghadapi proses persalinan dengan keadaan yang serba terbatas. Bukan hanya terbatas secara ekonomi, tapi juga dalam pelayanan yang menurut kami pincang dan tidak tanggap terhadap kondisi gawat darurat. Salam Inklusi!
Post a Comment for "Sepucuk Cerita Perjuangan Dalam Keterbatasan Fasum"
Post a Comment