Bertandang ke Perpustakaan, Jappa-Jappa in Library
MAKASSAR - Sebenarnya, tulisan ini seharusnya sudah terpublikasi sejak Sabtu, 10 Juni 2023. Namun, ada sedikit cerita mengenai latar belakang perjalanan teman-teman ke perpustakaan ini. Tidak banyak yang dipersiapkan, hanya modal nekat dan benar-benar atas dasar penasaran tentang layanan perpustakaan umum itu seperti apa.
Sekitar 2 hari sebelum bertandang ke perpustakaan, kami menyepakati bahwa Jum'at adalah hari yang pas untuk berkunjung ke sana. Sebab, kami mengira hari Sabtu tutup. Maka minta tolonglah saya kepada mas bro Ali untuk membuatkan desain flyer untuk kegiatan kunjungan ini, dengan jargon "Jappa-Jappa Tunanetra". Satu hari sebelum berangkat, tiba-tiba saya merasa badan kurang segar. Kelopak mata mulai terasa hangat, hidung tersumbat dan angin berhasil membuat saya mengigil. Puncaknya di malam hari. Beristirahatlah saya di atas pembaringan tanpa ditemani oleh laptop, hingga Fajar tiba.
Baru saja saya membuka laptop dan mulai mencari nama grup PERTUNI Sulsel XII dalam aplikasi Whatsapp Web, ternyata bro Ali sudah menyebarkan flyer yang ia buat ke beberapa grup lainnya. Padahal, saya baru akan mengetikkan permohonan maaf kalau mungkin tidak bisa join, dan menawarkan jika kunjungannya ditunda dulu. Namun, saya berpikir, sudah kepalan basah. Flyer sudah disebar, dan saya perhatikan juga teman-teman memiliki semangat dan sudah tidak telaten lagi mencoba layanan perpustakaan. Untung saja pagi itu keadaan saya terasa lebih mendingan dibandingkan semalam. Maka saya putuskan, "Oke, lanjut!" Walau pun, nanti setelah pulang saya baru tumbang, dan kini baru sempat menuliskan perjalanan.
Waktu itu tepatnya Jum'at, 9 Juni 2023. Dua destinasi kami saat itu, yakni Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan (Jl. Sultan Alauddin) dan Perpustakaan Umum Kota Makassar yang baru (Jl. Kerung-Kerung). Rombongan hanya berlima. Ialah saya sendiri, Yoga, Firdaus, Ali dan om saya yang kebetulan punya waktu menyupir mobil.
Digitalisasi Perpustakaan
Destinasi pertama, Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan di Jl. Sultan Alauddin Km. 7, Makassar. Memasuki pelataran perpustakaan, Ali menunjukkan kami lahan parkir khusus pengunjung disabilitas. Di kepala saya, tempat parkir ini mungkin disediakan bagi disabilitas yang membawa kendaraan sendiri seperti motor empat roda bagi disabilitas fisik, mobil atau motor pribadi untuk disabilitas yang bisa membawa kendaraan seperti disabilitas tuli dan fisik. Yang jadi pertanyaan, bagaimana seandainya kawan-kawan disabilitas netra yang membawa kendaraan sendiri yang ditemani oleh seorang supir? Saya sedikit menyesal tidak meminta tolong om saya untuk mencoba memarkir mobil di sana, hahaha...
Di depan gedung, terdapat sebuah bidang miring untuk pengunjung yang menggunakan kursi roda. Sebenarnya, saya belum bisa memperkirakan kemiringan yang pas sebuah bidang miring bagi pengguna kursi roda. Namun, kalau menurut saya sebaiknya kemiringan jalur kursi roda di depan gedung perpustakaan tersebut dikurangi agar tidak menyulitkan teman-teman disabilitas fisik.
Baru membuka pintu dan mulai memasuki gedung, kami telah disambut oleh pustakawan yang saya lupa tanyakan namanya. Ia mengucapkan selamat datang lalu mengantarkan kami ke komputer pengunjung untuk mengisi buku tamu.
Komputer itu tampak seperti komputer biasa. Yang diperuntukkan untuk pengisian identitas pengunjung. Menurut mbak-mbak pustakawan, komputer itu berfungsi layaknya buku tamu. Ali memasukkan nama-nama kami satu-persatu. Sementara itu, Yoga sempat membisik ke saya bahwa ini adalah peluang. Menurutnya, digitalisasi di perpustakaan ini sudah ada. Olehnya itu, hal ini bisa menjadi peluang agar disabilitas mengadfokasi terkait akomodasi yang layak bagi pengunjung perpustakaan dari kalangan disabilitas, khususnya netra.
Perpus Sulsel Punya Huruf Timbul
Setelah mengisi data diri, kami diarahkan ke sebuah rak buku yang isinya tumpukan buku-buku braille. Familiar sekali sekumpulan buku-buku braille ini yang tak lain merupakan cetakan Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) Abiyoso di Cimahi, Jawa Barat. Ada buku majalah "Gema Braille", buku-buku dongeng dan tokoh-tokoh inspiratif. Kocaknya, Yoga menanyakan kepada mbak pustakawan, apakah di sana ada buku tentang teori sosial yang dicetak braille atau tidak.
Hal itu juga sebenarnya yang menjadi tebakan di kepala saya tatkala mendapati tumpukan buku braille ini. Isinya pasti hanyalah bacaan biasa, yang seharusnya bisa diperbanyak dengan bacaan-bacaan selayaknya mahasiswa. Sehingga, mahasiswa disabilitas bisa memanfaatkan perpustakaan ini untuk mencari bacaan, mencari referensi penelitian, dan menemukan bahan-bahan makalah. Tapi, memang implementasinya mungkin sulit karena satu-satunya percetakan braille yang aktif memproduksi buku braille hanya satu, yakni BLBI Abiyoso sendiri.
Sebenarnya ada salah satu percetakan braille di Indonesia Timur, yang mana jika benar-benar dimanfaatkan maka bisa jadi peluang untuk menjadi pusat percetakan braille yang sesuai dengan minat baca teman-teman disabilitas netra. Namun, gebrakan tersebut menurut saya perlu didiskusikan dengan masif dan memerlukan dukungan beberapa pihak. Sebab, satu hal yang sebaiknya diketahui publik, ialah biaya untuk melakukan pencetakan buku braille itu sangatlah besar. Mesin yang digunakan bukanlah mesin biasa yang dapat dibeli dengan harga terjangkau di dalam negeri, melainkan mesin pencetakan braille itu saat ini baru bisa dibeli dari luar negeri, itu pun dengan harga yang fantastis.
Bacaan Disabilitas Sama Dengan Nondisabilitas
Kami sempatkan untuk berjalan-jalan ke bagian buku-buku umum. Maksudnya, buku-buku yang bukan cetakan braille. Banyak sekali. Ada buku tentang kesehatan, sosial, politik, bahkan buku masak-memasak. Kami sempat kebingungan. Yoga sempat meminta Ali untuk mencari buku-buku Sosiologi. Namun, masih belum ada yang sesuai dengan bacaannya. Ia sempat nyeletup, kalau di sana kemungkinan tidak disediakan buku kiri. Mungkin pusing sendiri melihat kami mondar-mandir mencari buku tapi belum dapat, mbak-mbak pustakawan mengajak kami untuk mencoba komputer katalog perpustakaan yang ada di bagian depan ruangan. Kami seketika itu menertawai diri sendiri, "Kenapa tidak dari tadi, awwah!"
Lagi-lagi, Yoga membisik, "Komputer lagi cak!" Sayang sekali jika fitur ini tidak dimaksimalkan menjadi aksesibilitas bagi pengguna tunanetra. Jika fasilitas ini dioptimalkan dengan pembaca layar, maka tunanetra yang datang ke sini akan semakin dekat dengan kata mandiri dalam membaca. Kemungkinan seperti itu yang ada di dalam kepalanya. Memang benar. Apa lagi setelah mengetahui bahwa di sana memiliki beberapa unit komputer yang diperuntukkan untuk membaca buku-buku secara digital.
Firdaus, sempat mengusulkan untuk mencari buku karya August Komte. Namun, karena mungkin belum familiar dengan fitur aplikasi katalog buku, Ali belum menemukan buku karya-karnya August Komte. Banyak sekali kami sebutkan judul-judul buku yang pernah atau belum kami baca, namun entah mengapa hasil penelusuran lebih sering menampilkan kata "Tidak Ditemukan". Entah mengapa. Kategori buku juga tidak terlalu tersedia. Menurut Ali, di rak buku yang tadilah tersimpan koleksi buku-buku sosial.
Kami kembali ke rak buku sosial tadi, dan menemukan satu buku karya Sujono Sukanto, yakni "Sosiologi, Suatu Pengantar". Sebenarnya buku itu bukanlah menjadi pencarian Yoga, namun dirinya memutuskan untuk membaca buku itu. Sebenarnya, membaca di sana bebas di sudut mana saja, dengan posisi seperti apa saja. Namun, saran dari pustakawan agar kami membaca di sebuah sofa pada sebuah sudut ruangan.
Sembari Yoga dibacakan oleh Ali, saya dan Firdaus menelusuri rak-rak lain dan memotret bagian-bagian ruangan seperti rak buku braille, komputer katalog, dan meja baca.
Menuju Perpustakaan Ramah Disabilitas
Setelah beberapa lama, mbak pustakawan nampaknya amat memperhatikan kami dan kebetulan lewat di sekitaran Yoga yang sedang membaca. Ia sangat ramah dan sudi menceritakan asal-usul pembangunan perpustakaan. Menurutnya, sebelum pandemi lalu, banyak disabilitas yang berkunjung ke perpustakaan. Tapi setelah pandemi tidak ada sama sekali. Dirinya lalu menawarkan agar kami membuat satu video yang berisi harapan dan aspirasi disabilitas untuk pembangunan perpustakaan.
Video itu diambil saat kami berkumpul di sebuah meja yang kemungkinan adalah salah satu meja baca. Yoga mengungkapkan bahwa bacaan yang dibutuhkan oleh disabilitas sama dengan bacaan yang orang-orang yang bukan disabilitas.
"Saya adalah mahasiswa, dan ke sini sebenarnya mau cari-cari bacaan yang sesuai dengan perkuliahan saya. Tapi, yang akses di sini hanya buku-buku yang isinya dongeng, tokoh-tokoh inspiratif dan sebagainya. Bacaan itu mungkin untuk di Makassar sudah tidak relevan lagi karena kami juga kadang-kadang mencari bacaan-bacaan umum . Sebenarnya apa yang menjadi bacaan orang-orang nondisabilitas, itu juga yang kami baca. Jadi tidak ada bedanya kami dengan yang bukan disabilitas. Sayangnya, pembuatan buku yang akses untuk netra tentang bacaan-bacaan umum tadi yang masih kurang," ujarnya.
Dirinya mengatakan, bahwa telah melakukan audiensi dengan pemerintah sebagai langkah awal mengembangkan perpustakaan yang inklusif.
"Sebenarnya, sejak tahun lalu PERTUNI sudah audiensi dengan Dinas Perpustakaan Kota Makassar untuk mengembangkan perpustakaan yang inklusif bagi disabilitas. Namun, yah seperti itulah. Masih perlu monitoring lebih lanjut," tandasnya.
Menginstal Pembaca Layar Pada Komputer Baca
Terakhir, setelah agak lama berbincang dengan mbak pustakawan, kami meraba-raba beberapa komputer baca yang ada di sana. Katanya, komputer ini diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin membaca secara digital. Saya pun tertarik untuk mencobanya. Tanpa persetujuan pustakawan, saya berniat menginstalkan aplikasi pembaca layar di komputer tersebut.
Setelah meminta tolong Firdaus untuk mengambilkan tas, saya meraih amunisi meliputi harddisk eksternal yang sengaja saya bawa, siapa tahu ada sikon yang tepat untuk menginstalkan aplikasi pembaca layar di komputer perpustakaan. Dan sekaranglah saatnya! Kita sambungkan USB Harddisk ke komputer, dan mulai menyalakan narator. Suara jelas narator terdengar secara perlahan.
Kami berempat tak hentinya tertawa kecil-kecil. Apa lagi setelah notifikasi instalasi NVDA sudah berhasil telah keluar. Selanjutnya giliran Yoga yang menginstal pembaca layar di komputer hadapannya. Proses selama kami menginstal pembaca layar dapat dipantau pada video yang kami lampirkan di bawah ini!
Setelah menginstalkan pembaca layar pada dua unit komputer, kami meninformasikannya kepada pustakawan dan ia membolehkannya. Komputer tersebut sempat saya coba untuk berselancar di internet. dan serasa seperti menggunakan laptop sendiri. Sayangnya, kami belum bisa menggunakannya untuk membaca. Karena jika komputer itu ingin digunakan untuk membaca, maka harus tersambung dengan jaringan lokal yang kebetulan saat itu sedang tidak tersedia.
Suara rekaman mengaji dari masjid sebagai pertanda tak lama lagi memasuki waktu Jum'at. Kami beranjak dari ruangan perpustakaan dan mengucapkan terima kasih kepada pustakawan. Terakhir, pustakawan memberikan petunjuk jika kami hendak melakukan audiensi dengan Kepala Perpustakaan di sana.
Kocak, Ketua DPD PERTUNI Sulawesi Selatan Mandi di Masjid
Berlalu dari Jl. Sultan Alauddin, kami mencari-cari masjid yang pas untuk menunaikan shalat Jum'at di sekitaran Jl. A.P. Pettarani. Namun, kami kesulitan mendapatkan tempat parkir. Pada akhirnya, di Jl. Maccini kami mendapati sebuah masjid yang agak kecil namun memiliki parkiran yang setidaknya aman. Lucunya, Yoga yang ternyata belum mandi, pada akhirnya harus menumpang di kamar mandi masjid untuk mandi. Yah, memang sebelum berangkat, saya sempat menelepon Yoga berulang kali tapi tidak tersambung. Itu berarti, kebiasaannya jika pagi-pagi ditelepon tidak nyambung, maka ia belum bangun.
Ali dan Firdaus memang datang lebih dulu ke kediaman saya di Jl. Racing Centre. Beruntung, saat kami semua sudah siap Yoga baru bisa dihubungi. Dan kami langsung ke kediamannya di Perdos Unhas. Sampai di sana, dia bilang kalau baru selesai sarapan dan ceritanya baru bergegas mandi. Tapi, entah mengapa dirinya tidak melanjutkan. Ia langsung berkemas dan bergegas ke mobil dengan sorakan, "Ayoo... Di masjid pa' mandi, deh!" Sorakan itu langsung diikuti oleh suara lantang Firdaus, "Ayoooo....!"
Tangga Naik Perpustakaan Makassar Berbahaya!
Singkanya, setelah shalat Jum'at dan mengisi kampung tengah kami langsung gaskan ke Perpustakaan Umum Kota Makassar, Jl. Kerung-Kerung, Makassar. Model bangunan ini berbeda dengan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan. Jika bangunan Perpustakaan Sulsel terdiri dari dua lantai yang mana lantai satu ialah perpustakaan dan lantai dua adalah Balai Bahasa, maka bangunan ini terdiri dari lahan parkir di lantai satu dan gedung perpustakaan di lantai dua.
Namun, ditinjau dari keadaan pelatarannya, terlihat kalau pembangunan gedung ini belum rampung. Tangganya terletak di bagian luar gedung. Yang menurut saya cukup rumit.
Dapat ditinjau dalam video di atas, tak ada bidang miring atau akses kursi roda lainnya. Pegangan untuk disabilitas netra juga tidak ada. Anak tangga pertama yang begitu tinggi membuat orang-orang sepertinya agak kesulitan jika akan memasuki gedung. Ada sebuah potongan batu besar yang dihimpitkan ke sisi luar anak tangga itu. Yoga sempat merabanya dan menurutnya itu digunakan sebagai tolakan menuju anak tangga pertama yang lumayan tinggi memang. Ia berpendapat bahwa hal itu sangat riskan jika dibiarkan terus saja seperti itu.
Pembangunan Belum Rampung
Di bagian atas, ada sebuah pintu aluminium untuk memasuki gedung perpustakaan. Dan, saya sedikit heran ketika Ali menjelaskan bahwa kita sudah berada di dalam ruangan setelah melewati pintu aluminium itu. Lantainya, seperti belum jadi. Tak ada tegel. Hanya betonan. Nampak seperti lahan parkir di sebuah mall. Tapi, saya mencoba berpikir positif.
Berjalan mendekati rak buku yang tersedia di ruangan itu, Yoga menanyakan kepada petugas yang ternyata anak magang dari Universitas Terbuka bernama Amel dan Rahmah, apakah di sana tersedia buku braille atau tidak. Menurut mereka, di sana belum tersedia buku braille, komputer dan fasilitas lainnya dikarenakan perpustakaan memang masih dalam proses pembangunan. Mereka menjelaskan bahwa di sana belum dapat melayani pemustaka, dan menyarankan kami untuk berkunjung ke Perpustakaan Provinsi. Setelah agak banyak berbincang dan memberitahukan bahwa kami baru saja berkunjung ke perpustakaan Provinsi, maka kami memutuskan untuk beranjak.
Jika ingin ditelisik, sejak tahun 2022 lalu kami telah bertandang ke Dinas Perpustakaan Kota Makassar untuk melakukan audiensi dengan Kepala Dinas ibu Andi' Tenri Palallo' untuk mewujudkan perpustakaan yang inklusif khususnya digitalisasi buku-buku bagi tunanetra. Saat itu, kami diberikan gambaran tentang rencana pembangunan perpustakaan yang sudah mulai digarap. Perpustakaan itu katanya terletak di Jl. Kerung-Kerung, dan beginilah hasilnya! Kedengaran, yang bersangkutan Kepala Dinas terjerat masalah terkait pembangunan perpustakaan yang dimaksud.
Apa pun itu, PERTUNI akan terus ada. Memantau, berpartisipasi dan menyuarakan layanan publik yang inklusif sehingga dapat dirasakan oleh disabilitas netra khususnya dan masyarakat seluas-luasnya pada umumnya. Demikian episode Jappa-Jappa PERTUNI in Library. Semoga di lain kesempatan bisa mampir kembali ke Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan. Oh iya, menurut pustakawannya, ruangan perpustakaan juga bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan diskusi seperti bedah buku, atau diskusi lainnya seperti diskusi tematik dan lain-lain. Hal tersebut dikarenakan ruang perpustakaan sekarang ini termasuk dalam kategori fasilitas umum. Jadi, tidak ada aturan lagi yang melarang ribut , dan untuk kapasitas 20-30 orang berdiskusi di perpustakaan saya rasa menjadi hal yang sangat menarik. (*)
Dokumentasi
Penulis: Ismail Naharuddin
Post a Comment for "Bertandang ke Perpustakaan, Jappa-Jappa in Library"
Post a Comment