Edisi KULIK III: "Disabilitas Cerdas di Tahun Politik"
MAKASSAR - Pada Kamis, (1/6/2023) yang bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila kami sepakati sebagai momen untuk melanjutkan program KULIK, atau "Kuliah Literasi Inklusi". Sebenarnya, program ini telah berjalan sejak pertemuan perdana pada Agustus 2022 lalu. Kemudian baru kembali berlangsung di Rumah PerDIK pada awal Maret 2023.
Yah, bahwasannya program ini merupakan kerja sama antara DPD PERTUNI Sulawesi Selatan dengan Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesetaraan (PerDIK). Yang kebetulan di pertemuan ketiga ini giliran kami yang bertugas sebagai tuan rumah.
Pada pertemuan kali ini, kami sepakat mengangkat tema "Disabilitas Cerdas di Tahun Politik". Hal tersebut sebagai ajang attention kalau saat ini merupakan momen menjelang pesta demokrasi 2024. Dua hari sebelum kegiatan, terpilihlah nama-nama yang akan menarasumberi kegiatan tersebut. Awalnya yaitu Daeng Malik selaku Aktivis PerDIK dan Endang Sari dari KPU Makassar. Namun, setelah saya secara pribadi mengkonfirmasi kehadiran ibu Endang, ternyata di hari tersebut beliau sudah ada agenda dari pagi hingga sore.
Saya kembali memilah nama-nama yang tepat menjadi pembicara di pertemuan KULIK kali ini. Akhirnya terlintaslah nama Rijal Jamal, seorang Youtuber yang selalu saya nonton video-videonya. Saya tertarik karena isi kontennya rata-rata berbau persuasif dan selalu memberikan motivasi kepada anak muda untuk kreatif dan produktif. Singkat cerita, melalui manajemennya disetujuilah undangan kami kepada beliau untuk menjadi narasumber.
Sempat Ngeblank Saat Acara
Belakangan ini saya sendiri sudah jarang berbicara di muka umum. Saya yang merupakan tipe orang yang segala sesuatunya harus terstruktur, seharusnya mendapatkan waktu untuk menyusun pola komunikasi untuk memoderatori kegiatan ini. Namun dalam hal ini tidak demikian. Lebih urgen untuk melakukan pengontrolan terhadap persiapan sarana dan prasarana kegiatan. Saya melakukan komunikasi dengan Ali dalam hal desain flyer, mengajak Firdaus membersihkan Basecamp sekaligus menyedot debu-debu di karpet, serta meminta bantuan Niko untuk menyetel sound system.
Pukul 2 siang, peserta sudah mulai berdatangan. Termasuk teman-teman PerDIK dan tim Rijal System. Namun untuk kanda Rijal sendiri masih berada di perjalanan dari Malino karena harus menghadiri undangan pernikahan kakak Tumming, yang juga seorang Influencer Makassar. Saya sedikit gelisah. Mencoba bersikap wajar dengan bersenda gurau bersama kak Hamzah serta Daeng Malik yang sudah tiba bersama ajudannya, Tio dan Ilham. Tidak lama kemudian, kak Hamzah mulai menyarankan agar diskusinya dimulai saja, sembari menunggu kanda Rijal.
Saya meraih gagang microphone dan mulai menyapa peserta. Entah mengapa sedikit aneh. Seperti baru belajar berbicara saja. Tidak jarang saya hendak mengucapkan sesuatu, namun lupa kosakatanya. Saya memulai dengan mengajak peserta memperkenalkan diri.
Satu-persatu memperkenalkan diri. Ada kak Hamzah dari PPDI, kak Ranggo dari ITMI, kak Miko dan Risna dari Mahasiswa PPG Unismuh, Hajerah, Azizah, Salmah, dan Asrul dari YAPTI, Arfan dari GERKATIN, kak Isti sebagai Juru Bahasa Isyarat dan masih banyak lagi baik dari perwakilan organisasi mau pun yang hadir secara pribadi seperti Arsal dan Samrawati. Bahkan peserta masih berdatangan saat pertengahan diskusi.
Skeptis Terhadap Janji Politik yang Tak Berkomitmen
mengawali diskusi, Daeng Malik menggambarkan tentang novel karya Jeorge Orwell yang berjudul "Animal Farm", atau yang diterjemahkan menjadi "Binatangisme". Yang menceritakan tentang sebuah peternakan dengan gerakan revolusioner dari hewan-hewan di dalamnya. Mereka ingin membentuk tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan pemilik mereka, yakni tuan Jones. Dua ekor babi pada peternakan tersebut, Napoleon dan Snowball memimpin pemberontakan dan pada akhirnya menjadi pimpinan di antara hewan-hewan tersebut. Semua hewan diajarkan membaca dan menulis, serta anjing-anjing secara diam-diam dilatih dan dipisahkan dari pemiliknya.
Peternakan tersebut akhirnya diberi nama Peternakan Hewan atau Animal Farm. Namun, karena perebutan kekuasaan antara babi-babi, khususnya Snowball dan Napoleon, serta sewenang-wenangnya Napoleon setelah menyingkirkan Snowball dikarenakan pengaruh oligarki, maka menimbulkan kekecewaan dari para hewan-hewan tadi. Daeng Malik menarik sebuah pemikiran kritis bahwa, harapan yang dibebankan kepada seseorang yang berbenturan dengan kekuasaan tak akan menghasilkan apa-apa. Dirinya menghubungkan cerita dalam novel pendek tersebut dengan kenyataan yang ada sekarang.
"Untuk apa menggantungkan harapan kepada mereka? Sering kita dapati, keluarga kita, kerabat dan teman kita yang datang meminta dipilih. Tapi, coba kita pikir! Apakah mereka pernah sekali-kali memikirkan nasib kita?" ungkapnya.
Semua janji politik, visi dan misi hanyalah omong kosong. Hanya sebagai pelengkap administrasi pencalonan kandidat. Yang dibuat tidak secara objektif, namun hanya dari sudut pandang diri mereka sendiri. Tak ada interaksi nyata antara kandidat dengan masyarakat. Penggiringan opini, bahkan framming untuk menggiring publik terhadap nama-nama tertentu, tidak dari pilihan rakyat. Demikianlah kira-kira gambaran pemantik yang diutarakan oleh kanda yang saat itu mendeklarasikan diri sebagai "Difabel Miskin Kota".
Dari fenomena tersebut, menurutnya diperlukan sebuah komitmen nyata yang diaplikasikan ke dalam bentuk-bentuk kesepahaman. Dengan kata lain, ialah sebuah kontrak politik.
"Jadi dari sini teman-teman, sikap kita adalah bagaimana harus ada kontrak politik untuk Pemilu yang akan datang. Apa yang akan kita dapatkan kalau seandainya mereka terpilih? Itu semua harus jelas!" tegasnya.
Dirinya beranggapan, bahwa jika hanya sekadar berharap tanpa adanya kontrak politik percuma saja. Siapa pun, jika telah berada dalam garis kekuasaan tak akan merubah keadaan. Adanya kontrak politik pun bukan sebuah jaminan, terlebih jika hanya sekadar berharap tanpa komitmen nyata secara langsung dari individu yang bersangkutan.
Politik Adalah Pilihan dari Sebuah Pertarungan
Sementara itu, kanda Rijal yang datang tepat di akhir pemaparan Daeng Malik mengungkapkan bahwa keberlangsungan pemerintahan yang ada hari ini, tidak sesuai dengan harapan dikarenakan bangku-bangku politik yang tersedia diisi oleh orang-orang yang tidak sesuai. Dari sini, semua harus berperan aktif untuk melahirkan pemimpin yang diharapkan.
"Saya pribadi juga sempat kecewa dengan politik. Kenapa? Karena memang kadang-kadang apa yang menjadi harapan kita tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. Entah dalam bentuk kebijakan atau peraturan, rata-rata tidak berpihak pada kita. Setelah saya riset dari 2013 sampai 2020, akhirnya saya menemukan satu proses yang saya kira sangat penting. Bahwa selama ini jika kita menganggap bahwa politik tidak seperti apa yang kita harapkan, karena banyak sekali ruang-ruang politik kita diisi oleh orang yang tidak kompeten. Atau orang-orang yang memang tidak sesuai dengan harapan kita," ujarnya.
Gambaran dari pemaparan Rijal adalah, politik merupakan sebuah pilihan. Citra politik yang bersih atau pun kotor tergantung dari masyarakat itu sendiri. Money Politic menjadi sebuah fakta yang harus diterima. Semua tergantung masyarakat dalam menyikapi gejala tersebut. Apakah ingin melanggengkannya, atau kah ingin membuat sebuah perubahan. Dengan kata lain, politik merupakan pertarungan. Yang mana semua bisa memilih posisinya sendiri-sendiri, dan keberpihakannya sendiri-sendiri.
"Setelah lama kecewa, saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, kenapa begini politik? Saya sadar bahwa semua itu adalah kenyataannya. Bagaimana pun, Money Politic tidak dapat terhindarkan. Hal tersebut harus kita terima. Sekarang tinggal kita yang memilih. Mau begitu-begitu terus, atau menciptakan perubahan," lanjutnya.
Dirinya mengajak kepada peserta agar turut aktif dalam menciptakan calon-calon yang tepat untuk menjadi pilihan rakyat. Bahkan, jika perlu mendorong orang-orang yang dijagokan untuk maju dalam kancah politik. Itu untuk membawa kepentingan bersama.
"Suntik semangat orang-orang tersebut agar mau menjadi perwakilan kita. Kalau perlu, usulkan nama-nama orang itu ke partai-partai politik. Lakukan dengan berbagai cara. Kita punya media sosial," lanjutnya.
Semua ajakan-ajakan Rijal, yang dituturkan secara persuasif kepada peserta tak lebih karena politik telah menjadi juru kunci terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat. Seluruh aspek kehidupan tidak terlepas dari politik. Kegiatan ekonomi, kesehatan, pendidikan lahir dari kebijakan-kebijakan dari metamofosa politik.
Dari apa yang disampaikan Rijal tersebut, menjadi benang merah bahwa partisipasi penuh dengan cara dan metode sendiri-sendiri sangat diperlukan. Partisipasi itu bukan hanya dari satu rute saja. Namun berbagai jalur yang kemudian akan bertemu di garis Finish.
"Semua kita memiliki cara sendiri-sendiri. Ada yang memilih orasi, membakar ban untuk menyampaikan aspirasi, tidak masalah. Ada yang tidak pandai berbicara namun memiliki suara merdu, bangunlah gagasan melalui lagu-lagumu. Dan saya pribadi telah memilih cara melalui media, yang bisa saya lakukan, iya itu. Saya mungkin tidak bisa memecahkan persoalan orang-orang yang datang di podcast saya secara langsung. Tapi, melalui itu setidaknya bisa dinaikkan isunya lalu menjadi viral. Dan publiklah yang memberikan respon terhadap masalah itu," tandasnya.
Dirinya pun menambahkan sebuah kutipan, "Jangan terlalu jauh dengan kekuasaan supaya kita bisa berkoordinasi. Dan jangan terlalu dekat dengan kekuasaan supaya kita bisa mengontrol!"
Kontraperspektif
Dalam menyalurkan semangat politik yang aktif kepada peserta, Rijal bahkan mengajak untuk masuk ke partai politik. Hal tersebut ditanggapi oleh Daeng Malik, yang mengungkapkan realita yang berkenaan dengan masalah yang dihadapi kelompok disabilitas.
Berbicara soal partisipasi aktif dalam aktifitas partai politik, Daeng Malik mengungkapkan bahwa tak ada akses disabilitas ke partai politik. Partai hanya terkesan elitis, dan hanya orang-orang tertentu yang mampu menjangkau.
"Masalahnya ruang itu yang tidak ada. Disabilitas hanya dijadikan objek. Selama ini, maupi Pemilu baru datang semua. Itu pun bukan untuk melibatkan. Banyak yang berbicara, kita akan buat program seperti ini untuk disabilitas. tapi disabilitas itu sendiri yang tidak dilibatkan. bagaimana caranya? Ingat, Nothing about us without us," ujarnya.
Penuturan Daeng Malik ini, secara tidak langsung menjabarkan tentang situasi yang dihadapi oleh masyarakat disabilitas dalam hal partisipasi politik secara aktif. Apa lagi, setelah Rijal memaparkan sebuah kutipan yang menyatakan bahwa jika ingin menilai masyarakatnya, lihat siapa pemimpinnya.
"Seorang pemimpin tidak bisa menjadi tolok ukur masyarakatnya baik atau tidak. Jika seandainya pemimpinnya yang tidak baik, tidak secara otomatis masyarakatnya pun tidak baik."
Dari perbedaan pondasi berpikir tersebut, secara tidak langsung lebih memperkaya isu yang tengah diperbincangkan. Pembahasan akhirnya dapat menyentuh kepada persoalan pemenuhan hak disabilitas dalam aspek politik. Jika sebelumnya ajakan-ajakan atau penjabaran mengenai partisipasi politik dan fenomena oligarki dikemukakan secara umum, dengan adanya persinggungan pandangan ini maka subjek bahasan dapat lebih mengerucut pada persoalan disabilitas.
Perlunya Hak Disabilitas Disuarakan Secara Masif
Dalam sesi tanya jawab, kak Hamzah ikut menjabarkan tentang perjuangan PERTUNI yang menyuarakan pentingnya template sebagai surat suara khusus bagi pemilih tunanetra pada tahun 2004 lalu. Menurutnya, demonstrasi yang dilakukan saat itu membuahkan hasil tersedianya surat suara khusus yang disediakan oleh KPU. Menurutnya, secara otomatis seharusnya KPU telah memahami apa yang menjadi aspirasi tunanetra dalam aspek partisipasi politik. Namun pada kenyataannya adalah, kebijakan yang sebelumnya telah ramah bagi disabilitas netra, perlahan berubah.
"Kebijakan itu berubah-ubah. Dulu setelah kami mengadfokasi surat suara itu, keinginan kami dipenuhi. Tapi seiring pergantian komisioner, beda lagi kebijakannya. Padahal, waktu itu ada 4 anggota komisioner yang juga menjabat di waktu kami menyuarakan hak atas surat suara itu. Seharusnya kan mereka yang 4 inilah yang paling mengerti maunya kami. Tapi nyatanya kebijakannya berubah," ungkapnya.
Andi Arfan, melalui bahasa isyarat yang kemudian diterjemahkan oleh JBI pun turut mengutarakan pengalamannya dalam janji politik dari seorang kandidat.
“Pernah ada salah satu kandidat yang akan berlaga di Pilkada. Visi misinya itu menurut kami bagus untuk teman-teman Tuli. Kami pun pilih dia. Tapi setelah dia terpilih, dia malah terjerat kasus korupsi,"
Segala apa yang diutarakan terkait hambatan disabilitas dalam berpartisipasi di ruang politik tersebut ditanggapi oleh Rijal. Menurutnya hal ini mesti disuarakan secara masif.
"Itu makanya kita bertemu di hari ini. Kita saling berbagi pemikiran. Keresahanta' harus selalu disuarakan. Makanya saya sudah notice ke tim saya supaya ini direcord," terangnya.
Di penghujung pemaparannya, Rijal memohon pamit untuk beranjak duluan karena masih ada agenda lain bersama seorang Kepala Desa. Dirinya mengaku sangat senang bisa berbagi gagasan dengan jaringan organisasi penyandang disabilitas. Acara kemudian beralih ke sesi foto bersama.
Ada pun Daeng Malik sebagai kesimpulannya, kembali menegaskan bahwa dibutuhkan sikap yang jelas dari jaringan OPdis dalam menyambut kampanye politik dari seorang kandidat.
"Dari sini, kita harus tegas dalam menentukan pilihan politik. Memilih untuk memilih, atau memilih sikap yang lain," tandasnya. (*)
Penulis: Ismail Naharuddin
Post a Comment for "Edisi KULIK III: "Disabilitas Cerdas di Tahun Politik""
Post a Comment