Darma Pakilaran, Pengabdian Nyata di Era Monokrom

MAKASSAR - Hikayat ini bermula saat Darma Pakilaran berkuliah di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga) dan bertemu dengan seorang kawan bernama Fuadi Aziz. Bersama kawannya itulah, ia membersamai Supardi Abdul Somad (seorang difabel netra asal Jogja) untuk mempelajari Al-Quran Braille. Saat itu masih tahun 1960-an, dan meskipun Al-Quran Braille sudah diperkenalkan di Indonesia sebelum tahun-tahun itu, difabel netra yang mahir membaca dan apalagi mengajarkan Al-Quran Braille ke difabel netra lainnya belumlah ada.

Gambar Buku Braille

Darma Pakilaran berasal dari tanah Toraja, bagian utara Sulawesi Selatan. Toraja, bukan hanya dikenal dengan wisata negeri di atas awannya, tetapi juga sebagai salah satu daerah dengan penduduk mayoritas beragama Kristen. Darma Pakilaran pun lahir dan tumbuh di dalam keluarga Kristen, sebelum akhirnya, saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia menjadi seorang mualaf.

Selulusnya dari bangku menengah atas di Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan, ia pun berpikir untuk melanjutkan pendidikan. Awalnya, ia bertolak dari tanah Sulawesi untuk menempuh pendidikan di Fakultas Sosial Politik (Sospol) Universitas Gadah Mada. Tetapi setibanya di Jogja, semangatnya belajar Islam tumbuh kembali saat mengetahui jika ada kampus IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga). Ia akhirnya mendaftarkan diri dan mengikuti proses pembelajaran di kedua perguruan tinggi tersebut.

Pada tahun-tahun perkuliahannya (1961-1967) Darma Pakilaran kemudian bertemu dengan seorang difabel netra bernama Supardi, berkat kegemaran mereka bermain catur. Sebenarnya, ada dua sumber yang menuliskan kisah yang sedikit berbeda. Menurut kisah yang ditampilkan dalam website Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis), Supardi telah berkunjung ke perpustakaan Islam beberapa hari berturut-turut, tetapi belum mengemukakan maksud dan tujuannya. Hari ketiga kedatangannya, barulah maksud itu disampaikan dan disambut antusias oleh kepala perpustakaan Islam saat itu, Bapak H. Muqodas. Tetapi sayangnya, berbekal panduan pembacaan Al-Quran Braille, kepala dan seluruh staf perpustakaan Islam belum memahami dan mampu mengajarkan Al-Quran Braille pada Supardi. Kekalutan itu berakhir setelah tanpa sengaja, Darma dan Fuadi yang adalah mahasiswa, datang ke perpustakaan dan bertemu dengan difabel netra yang disebut-sebut sangat ingin mempelajari Al-Quran. Sementara menurut kisah yang dituturkan langsung oleh Darma Pakilaran, yang kemudian dituliskan lengkap di dalam website Yayasan PerDIK. Pertemuan itu terjadi dengan tidak sengaja dalam aktivitas keseharian Darma Pakilaran sebagai mahasiswa, dan Supardi Abdul Somad yang saat itu mengajar ekstrakulikuler kesenian di salah satu sekolah reguler di Jogja. Pertemuan yang berkesan dan membuat mereka akrab melalui kecintaan bermain catur. Suatu malam, menurut kisah yang dituturkan oleh Darma pada tiga aktivis difabel Makassar (Hamsa Yamin, Ishak Salim dan Nur Syarif), Supardi datang kepada Darma dan Fuadi. Menyodorkan sebuah buku tebal dan meminta untuk diajari membaca buku yang ternyata adalah Al-Quran Braille tersebut.

“Saat itu, saya memperhatikan isi kitab buku itu dan takjub melihat tulisan timbul di dalamnya,” ujar Darma, sesuai dengan yang tertulis di dalam website Yayasan PerDIK.

Di sanalah, Darma Pakilaran berusaha untuk memahami panduan pembacaan Al-Quran Braille bersama Fuadi, kawannya. Sebagai mualaf, Darma sebenarnya belum fasih membaca Al-Quran latin, apalagi Braille? Tapi didukung oleh keinginan kuat dan berbekal hafalan Surah Yasin Supardi, mereka pun berhasil mengartikan setiap simbol titik yang dijelaskan dalam halaman petunjuk pembacaan Al-Quran Braille itu.

Di sanalah, perjalanan atas sejarah Darma Pakilaran dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi difabel netra dimulai. Ia turut mendukung Supardi Abdul Somad dalam pendirian Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Jogjakarta, lalu juga pulang ke Kota Makassar untuk mendirikan Yayasan Pembinaan Tunanetra Islam (Yapti) Makassar. Bukan main, dedikasinya dalam menyebarkan pengetahuan Al-Quran Braille membawa ribuan difabel netra di Indonesia bisa merasakan nikmatnya membaca Al-Quran dengan mandiri.

Sebelumnya, Darma Pakilaran juga mengabdikan diri untuk mengajar dan mencetak Al-Quran Braille di Yaketunis. Sampai akhirnya pada tahun 1967, Rektor IAIN Alauddin Makassar memanggilnya untuk pulang dan melanjutkan pendidikan di provinsi asalnya. Darma menyambut ajakan itu, dan akhirnya bertolak dari Jogjakarta, tempat di mana ia memulai langkah besar dalam hidupnya, ke Kota Makassar, tanah yang tak jauh dari kampung halamannya.

Saat perpisahan, Supardi Abdul Somad memberikannya sebilah riglet (alat tulis bagi difabel netra). Sembari berpesan, agar Darma mendirikan yayasan bagi difabel netra di Pulau Sulawesi. Supardi tahu, pada masa-masa itu, pengetahuan atas pendidikan bagi difabel netra masih sangat terbatas. Jika di Jogja saja ia pernah kesulitan mengakses keterampilan membaca Al-Quran Braille, bagaimanakah dengan difabel netra di wilayah timur Indonesia?

Darma Pakilaran membawa riglet itu ke tanah Daeng, dengan bara perjuangan yang masih sama. Sayangnya, Makassar bukanlah Jogjakarta. Difabel netra yang berdaya bukan hanya terbatas, tetapi bahkan tak ada sama sekali yang berhasil ditemukan oleh Darma. Sembari menjalani perkuliahannya, Darma juga terus mencari difabel netra yang sekiranya bisa diajari membaca Al-Quran. Sampai akhirnya tiba hari itu, di mana ia bertemu dengan seorang netra bernama Habib Giring.

Tahun 1967, stigma yang menyasar masyarakat difabel di Kota Makassar masih sangat tebal. Meskipun Darma telah bertemu dengan Habib, jalannya untuk mengajarkan Al-Quran Braille tidak lantas menjadi mudah. Karena keluarga dan masyarakat sekitar Habib, justru menjadi tantangan berikutnya. Mereka tak percaya bahwa seorang netra bisa membaca Al-Quran, dan bahkan tidak merasa pengetahuan itu penting bagi Habib. Tapi Darma Pakilaran terus berjuang untuk meyakinkan.

Bersama beberapa tokoh Islam di Makassar seperti Muhammad Ahmad (mantan pimpinan Pesantren IMMIM), Almarhum Muhammad Naim (mantan Imam Besar Masjid Al-Markas Al-Islami), Hasmul Kusumoh, dan lain-lain, tahun 1969 berdirilah Yayasan Pendidikan Tunanetra Islam yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan YAPTI. Awalnya, proses ajar mengajar diadakan di tempat-tempat yang tidak menentu. Kadang di masjid, kadang di rumah-rumah orang yang sedang luang. Tapi pada tahun 1971, pemerintah kemudian memberikan tanah hibah di Jl. Kapten Piere Tendean Blok M No. 7 Kota Makassar, yang sampai dengan sekarang, menjadi lokasi pendirian Yayasan Pembinaan Tunanetra Islam, yang sekarang berubah nama menjadi Yayasan Pembinaan Tunanetra Indonesia.

Yapti berkembang dengan sangat pesat. Khususnya di Kota Makassar, Yapti dikenal sebagai yayasan pembinaan tunanetra sekaligus sekolah luar biasa A yang memiliki siswa-siswi terbanyak dan berhasil mencetak sejumlah alumni yang sukses. Sebutlah nama seperti Sahrudding Daming, Iyehezkiel Parudani, Fandi Dawenan, Arman Habib dan masih banyak lagi. Saat ini, meskipun Darma Pakilaran tidak lagi terlibat dalam rezim pimpinan Yapti, dan memang sejak berdirinya seperti itu, jasa-jasanya dalam menghidupkan hak pendidikan bagi difabel netra di Sulawesi dan Indonesia tidaklah boleh terlupakan.

Sejak awal pendirian Yapti, beliau tak pernah menjabat sebagai ketua yayasan. Ia tidak tergiur dengan jabatan, melainkan terus fokus pada pengabdian. Membuat orang buta tidak buta huruf Al-Quran, adalah tujuan utamanya. Saat ini, Bapak Darma Pakilaran telah mencapai usia lebih dari 80 tahun. Namanya tidak lagi akrab bagi difabel muda di Kota Makassar. Juga tidak banyak tulisan yang merawat nama dan jasa-jasanya. Tapi, tujuan dan impiannya untuk memajukan difabel netra di Kota Makassar telah tercapai. Semoga terus tercapai.

Penulis: Nabila May Sweetha

Sayangnya, saat ini dokumentasi sosok Darma Pakilaran memang belum tersebar luas. Bertemu langsung dengan beliau juga bukan hal yang mudah mengingat kondisi fisiknya yang mesti dipertimbangkan. Kami di PERTUNI berharap suatu hari dapat berkesempatan duduk bersama dengan sosok yang menjadi penggerak titik balik kemajuan tunanetra di Sulawesi Selatan ini.

Post a Comment for "Darma Pakilaran, Pengabdian Nyata di Era Monokrom"