Disabilitas Pascakecelakaan: Antara Kesetiaan dan Pengabaian

MAKASSAR - Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Internasional diperingati setiap 28 April sebagai seruan global untuk memastikan bahwa dunia kerja menjadi ruang yang aman, sehat, dan manusiawi. Peringatan ini tidak hanya bertujuan untuk mencegah kecelakaan kerja, melainkan juga untuk menjamin bahwa pekerja yang mengalami kecelakaan tetap dihormati hak-haknya. Dalam kenyataan sosial, pekerja yang mengalami perubahan fungsi tubuh akibat kecelakaan kerja sering kali menghadapi nasib kedua yang lebih sunyi: kehilangan hak untuk tetap berpartisipasi dalam dunia kerja.

Gambar Seorang Pekerja Konstruksi Alami Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja seharusnya menjadi momen refleksi untuk memperkuat prinsip inklusi. Dunia kerja seharusnya beradaptasi terhadap keberagaman fungsi tubuh manusia yang dinamis. Realitas menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami perubahan kondisi tubuh justru sering dipinggirkan. Dunia kerja masih didominasi oleh paradigma lama yang mengagungkan kesempurnaan fisik sebagai tolok ukur produktivitas. Kebutuhan untuk memberikan akomodasi layak sering dipandang sebagai beban administratif, bukan sebagai wujud keadilan.

Diskriminasi terhadap pekerja yang menjadi disabilitas tidak berhenti pada penghilangan hak kerja. Diskriminasi juga terwujud dalam ketidaksetaraan perlakuan di berbagai sektor. Saat mengikuti pemusatan pelatihan daerah (Pelatda) sebagai atlet renang disabilitas netra mewakili salah satu provinsi dari pulau paling timur Indonesia, penulis menemukan dua kasus nyata yang mencerminkan ketimpangan tersebut. Salah satu rekan sekontingen adalah atlet pararenang dengan klasifikasi disabilitas fisik, mengalami lumpuh layu pada satu tangan akibat kecelakaan dalam latihan militer. Ia tetap berstatus sebagai anggota militer aktif. Di sisi lain, dalam kontingen provinsi tempat Pelatda dilaksanakan, terdapat atlet dengan kategori disabilitas penglihatan (buta total) yang juga berlatar belakang militer, tetapi tidak lagi berstatus sebagai anggota aktif. Keduanya sama-sama mengalami disabilitas dalam status dinas aktif, tetapi diperlakukan secara berbeda. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa hak pekerja disabilitas, bahkan di institusi negara seperti militer, belum dijamin secara adil.

Ketidakadilan serupa juga tampak di sektor swasta. Dalam pertemuan lain, penulis berdiskusi dengan seorang disabilitas netra yang sebelumnya adalah kepala pengawas proyek di perusahaan tambang. Ia mengalami buta total pada kedua matanya setelah insiden brutal saat berusaha melindungi aset perusahaan. Ketika sekelompok perampok berusaha mencuri komponen penting dari alat berat tambang, ia berhadapan langsung dengan mereka dan terkena hantaman keras di kepala menggunakan senjata. Akibatnya, ia harus menjalani serangkaian operasi berat, termasuk pengangkatan sebagian tempurung kepala. Kondisi ini tidak hanya mengubah hidupnya secara drastis, tetapi juga menghilangkan posisinya di dunia kerja, tanpa akomodasi, tanpa rehabilitasi, dan tanpa keadilan.

Dua pengalaman nyata ini — dari sektor militer dan swasta — menyingkap persoalan struktural yang lebih dalam. Salah satu akar persoalan terletak pada ketimpangan regulasi dan praktik di lapangan. Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dalam bentuknya saat ini lebih banyak mengakomodasi kepentingan perwira tinggi dan elit militer, sementara prajurit biasa yang mengalami perubahan fungsi tubuh akibat tugas negara sering diabaikan. Revisi UU TNI ke depan harus memuat perlindungan tegas terhadap prajurit yang mengalami kecelakaan, baik dalam operasi militer, latihan, maupun aktivitas lain dalam status dinas aktif. Jaminan atas kelanjutan kedinasan, rehabilitasi, pengembangan karier, dan akomodasi layak harus menjadi prinsip utama, bukan sekadar slogan kosong. Negara yang menghormati martabat prajuritnya adalah negara yang menghormati kemanusiaan tanpa syarat.

Kegagalan melindungi pekerja disabilitas tidak hanya berdampak pada individu. Ketika dunia kerja gagal menghormati keberagaman kapasitas manusia, ia memperkuat ketidaksetaraan struktural. Pekerja disabilitas yang disisihkan kehilangan tidak hanya pendapatan, melainkan juga kehilangan akses terhadap jaminan sosial, kemandirian ekonomi, dan peran sosial yang bermartabat. Diskriminasi di tempat kerja memperdalam jurang kemiskinan struktural dan memperlebar ketidakadilan dalam masyarakat.

Membangun dunia kerja inklusif berarti mendobrak asumsi lama tentang produktivitas. Dunia kerja tidak boleh lagi mendefinisikan nilai manusia berdasarkan kesempurnaan fisik. Inklusi menuntut lebih dari sekadar mempertahankan pekerja yang menjadi disabilitas akibat kecelakaan kerja. Inklusi mewajibkan penyediaan akses penuh terhadap rehabilitasi medis dan psikososial, penyesuaian posisi kerja yang tidak diskriminatif, serta penghindaran praktik "parkir jabatan" yang meminggirkan. Pekerja disabilitas harus mendapatkan kesempatan pengembangan karier yang sama luasnya dengan pekerja lain, disesuaikan dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Dunia kerja harus membangun atmosfer yang suportif, positif, dan progresif, di mana keberagaman kapasitas manusia dianggap sebagai kekuatan kolektif, bukan kelemahan.

Perubahan menuju dunia kerja inklusif memerlukan komitmen kolektif. Perusahaan dan instansi negara wajib mengadopsi kebijakan ketenagakerjaan berbasis akomodasi universal. Pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan ketenagakerjaan dan mengoreksi regulasi-regulasi sektoral, termasuk revisi UU TNI, agar keadilan tidak hanya menjadi hak kaum elit, melainkan hak semua warga negara tanpa kecuali.

Mengabaikan hak pekerja disabilitas bukan hanya mengingkari nilai keadilan, melainkan juga membahayakan keberlanjutan dunia kerja itu sendiri. Dunia kerja yang menolak beradaptasi dengan keberagaman manusia justru menutup pintu terhadap inovasi dan kemajuan. Dalam memperingati Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Internasional, kita dihadapkan pada pilihan yang tegas: mempertahankan dunia kerja eksklusif yang usang atau membangun masa depan di mana tidak ada satu pun manusia yang ditinggalkan.

Penulis: Yoga Indar Dewa

Post a Comment for "Disabilitas Pascakecelakaan: Antara Kesetiaan dan Pengabaian"